Laporkan Penyalahgunaan

Arsip

Translate

1minggu1cerita
Blogger Perempuan

Cara Menulis Kisah Perjalanan Yang Menarik Menurut Penulis Buku Laris Agustinus Wibowo

Posting Komentar

Tips menulis kisah perjalanan ini dibagikan oleh Agustinus Wibowo dalam acara Travel Writing coaching, 26 Juli 2013 lalu. Artikel ini adalah catatan singkat saya tentang apa yang saat itu dijelaskan oleh Agustinus Wibowo, seorang penulis kisah perjalanan, mengenai bagaimana sebaiknya menulis cerita perjalanan agar menarik dan tidak membosankan. 



Agustinus Wibowo adalah seorang backpacker, blogger, journalist dan penulis buku laris “Selimut Debu” yang merupakan kisah perjalanannya di Afghanistan serta buku "Garis Batas”, kisah perjalanan melintasi Tajikistan, Kyrgyzstan, Kazakhstan, Uzbek
istan, hingga Turkmenistan.

Travel Writing Coaching ini termasuk acara Writing Clinic, dalam rangkaian Festival Wanita Wirausaha femina & Mandiri 2013. Artikel ini juga pernah dikutip oleh salah satu founder blogger Gandjel Rel, Uniek dalam postingannya di UniekKaswarganti dot com. Uniek yang tadinya memenangkan sebuah lomba dengan hadiah pelatihan menulis, memberi saya kesempatan mengikuti acara pelatihan tersebut, menggantikan Uniek yang tak bisa hadir.

Nah sekarang langsung ke sekelumit catatan dari pelatihan tersebut.

Sebelum menulis kisah perjalanan, coba ingat hal ini. Apa reaksi anda saat membaca buku traveling? melewatkan berlembar-lembar halaman karena bosan? membantingnya karena kesal? atau tak sabar melanjutkan karena penasaran? 


Bagi sebagian besar pembaca, Opening atau kalimat awal adalah bagian terpenting dalam tulisan. Orang memutuskan akan melanjutkan bacaan atau tidak, tergantung pada awal sebuah tulisan. Begitu banyak media, begitu banyak buku, dan hanya sedikit waktu untuk membaca. Maka jadikan kalimat awal pemancing penasaran pembaca. 

Setelah opening lalu isi tulisan: setelah "menangkap" pembaca, sekarang persoalannya bagaimana membuat pembaca betah. In travel writing, you must take your reader into your experiences. Make your writing come to life! 

Cara menulis kalimat yang terasa hidup itu ada macam-macam, namun menulis dengan deskripsi detil biasanya membuat pembaca serasa bisa melihat sendiri apa yang kita ceritakan.

Misalnya ketika ingin bercerita mengenai pengalaman saat naik kereta api yang penuh sesak, kita bisa mengatakannya dengan :

  • Kalimat pendek (1):'kereta api ini sesak'. Tapi apakah kalimat ini menarik?
  • Bandingkan dengan kalimat (2): 'kereta api ini sesak, sampai orang susah lewat.'  Nah, ini sedikit lebih ekspresif kan.
  • Lalu dengan kalimat (3) : 'kereta api ini sesak sampai saya harus berdiri dengan satu kaki'. Ini lebih memadai, pembaca bisa membayangkan lebih jauh apa yang ingin kita gambarkan.
  • Dan akhirnya dengan kalimat yang paling deskriptif (4): 'hampir tak ada tempat meregangkan badan, setiap inci kereta telah terisi orang yang tidur menggelosor, atau duduk di pojokan sambil mengempiskan perut, mengecilkan pantat, agar bisa mendapat tempat. Ini kalimat versi lain tanpa menggunakan kata 'sesak'. 

Menurut kalian, kalimat mana yang lebih bisa menggambarkan suasana yang ingin diceritakan oleh si penulis?

Jadi intinya, coba gunakan panca indera, kelima-limanya, untuk mendeskripsikan pengalaman yang diceritakan. 

Teknik lain yang bisa digunakan untuk menghidupkan tulisan adalah dengan cara tulisan model dialog. Ini bisa 'mempercepat ritme' tulisan. Asal hati-hati agar dialog tidak membosankan. Langsung gunakan dialog yang 'bercerita'. Tak usah gunakan dialog basa basi semacam "Hai, apa kabar". 

Jangan ragu memasukkan adegan dalam tulisan deskriptif. Misalnya menulis perampokan menggunakan adegan, tanpa satupun kata 'perampokan'. Biarkan pembaca menyimpulkan sendiri. Misalnya :  'ketika aku terjerembab ke pojokan, lelaki itu mengeluarkan bilah tajam berkilat, mengacungkannya ke arahku. "Wallet", katanya parau.

Less is more. Makin simple tulisan, makin menarik. Jangan bertele-tele. Sampaikan hal rumit dengan kalimat sederhana. Jangan beri tahu semua detil, beri ruangan untuk pembaca berimajinasi. Stay away from Wikipedia style

Menutup tulisan  biasanya berupa deskripsi akhir perjalanan. Tapi ini biasa saja jadinya. Yang bagus adalah membuat ending jadi 'gong' yang 'nyambung' atau jadi jawaban kisah pembuka di awal tulisan yang membuat penasaran

Rajinlah menulis jurnal selama perjalanan. Semua pengalaman, perasaan, ide, anything. Selain menghindari lupa, juga bisa jadi sumber inspirasi saat butuh ide dalam menulis kisah perjalanan. 

Tulislah kisah dalam bahasa yang baku. Tapi baku bukan berarti lantas kaku. Bahasa baku akan tetap enak dibaca bertahun-tahun mendatang. Bahasa gaul memang asyik, tapi cepat hilang di telan waktu. 

Kisah perjalanan tak selalu harus tentang cara melakukan perjalanan di tempat-tempat jauh. Bisa juga tentang lokasi dekat. Asalkan bisa membawa pembaca merasa turut melakukan perjalanan saat membaca. 

Makin mudah suatu masyarakat melakukan perjalanan, tren travel writing juga turut bergeser. Dari tren buku panduan perjalanan, buku-buku 'how to' menjadi buku narasi perjalanan,  yang bersifat personal dan tidak masal.

Itulah beberapa tips menulis kisah perjalanan atau menulis perjalanan wisata yang bisa dilakukan pada saat atau seusai kita travelling, menurut penulis buku laris, Agustinus Wibowo.

*updated*
My summary from Travel Writing coaching, 26 Juli 2013 by Agustinus Wibowo http://agustinuswibowo.com (backpacker, blogger, journalist, penulis buku “Selimut Debu” –kisah perjalanan di Afghanistan- dan “Garis Batas” –kisah perjalanan melintasi Tajikistan, Kyrgyzstan, Kazakhstan, Uzbekistan, hingga Turkmenistan), di acara Writing Clinic: Travel Writing dalam rangkaian Festival Wanita Wirausaha femina & Mandiri 2013. 

Pesiarsiar
Yumi, tukang pesiar yang suka menulis, membaca, menonton film dan bikin video. Potterhead garis keras. Alumni kampus biru Yogyakarta. Sekarang tinggal di Jakarta. Kemana-mana kalau bisa lebih pilih naik kereta. Suka warna senja.

Related Posts

Posting Komentar