Berjalan
beringsut, tangan erat menggenggam dompet kecil di kantong, saya mencoba
sekuatnya menyelamatkan isi dompet. Bukan saja dari tangan jahil, tapi juga
dari dorongan hati yang ingin memasukan semua pernik unik yang digelar penjual,
ke dalam tas dan membawanya pulang.
Melangkah
di emperan pertokoan ini, jajaran batik dan berbagai pernak pernik sungguh
membuai mata. Senyum ramah perempuan penjual gelang di kiri, sapaan lelaki dari
balik tumpukan sendal anyaman dikanan, membuat langkah saya kerap terhenti, meski
sejenak.
Di
ujung lorong emperan pertokoan, duduk seorang ibu tua, memperbaiki tumpukan
pincuk daun pisang. Di hadapannya, kendi kendi berisi sayur nangka muda
beraroma manis, ayam dan telur bersantan serta tempe tahu coklat tua.
Niat
saya hendak melanjutkan langkah. Tapi
aroma teh pekat menguar, dan saya serentak berhenti, melepas sendal, duduk
bersila di tikar jerami. Semuanya terasa akrab. Ah, baru terasa, betapa rindunya saya pada
kota ini.
4 paragraf di atas adalah catatan saya di sebuah status FB saya beberapa waktu lalu. Terakhir kali saya menginjakkan kaki ‘pulang ke kota(mu)’ Yogyakarta, pandemi Covid-19 belum melanda. Tahun 2019 itu, pesiar kemana-mana masih bebas, lega tanpa masker, kecuali masker untuk menghindari debu dan asap kendaraan bermotor.
Saat
itu seperti biasanya ketika di Jogja, saya selalu mencari burger kesukaan saya,
Burger Monalisa di seberang jalan samping gedung Grha Sabha Pramana UGM. Burger
Monalisa ini sudah ada sejak paruh akhir tahun 1980an, tetap laris hingga beberapa dekade kemudian termasuk saat
saya berkuliah di Jogja.
Selama
itu burger Monalisa terus bertahan di segala jaman dengan rasanya yang khas
Jogja, yakni saos burger yang manis. Saya
belum pernah menemukan burger lain yang rasa saosnya paduan gurih agak asam
segar tapi juga agak manis seperti saos burger Monalisa Jogja. Setahu saya
memang burger Monalisa tak buka cabang dimanapun selain di tempat yang sejak
dulu jadi lokasi kedainya.
Selain
burger Monalisa, kalau ke Yogyakarta atau Jogja tentu saja saya wajib nongkrong
di angkringan, minum jahe hangat atau susu jahe panas. Angkringan manapun di
Jogja tak masalah buat saya.
Tapi
pas terakhir ke Jogja itu saya menemukan sebuah angkringan baru (buat saya)
yang letaknya persis di perempatan tugu Jogja. Kalau dari arah utara,
angkringan ini berada di sebelah kiri jalan tepat di lampu merah perempatan
Tugu.
Letaknya
yang tepat di tugu membuat Angkringan Mas Bagong saat itu sangat ramai pengunjung. Angkringan
Mas Bagong bukan model gerobak beratap terpal bermeja bangku kayu dengan tungku
arang yang “menempel” di meja. Ini angkringan
dengan beberapa meja dan tikar lesehan, dengan gerobak kaca penuh berisi
macam-macam jenis nasi kucing.
Ada
yang nasi kucing berisi teri, ada yang tempe, ada yang ayam, atau potongan
ikan. Lauk tambahan semacam gorengan dan sate usus, sate telur puyuh bahkan
sosis, perkedel dan lainnya juga memenuhi meja pada gerobak angkringan.
Porsi
nasi kucing Angkringan Mas Bagong agak lebih besar dari nasi kucing di ankgringan umumnya. Kalau soal rasa,
mungkin relatif ya. Menurut saya sih cukup enak, sesuailah dengan harganya.
Di
sudut lain angkringan ini, sebuah tungku dengan arang membara mengepulkan asap,
ditingkahi bunga api kecil yang terkadang turut terbang di sekitar tungku. Sebuah
teko kusam di atas tungku, mengepulkan asap beraroma jahe, membuat saya hampir menyorongkan
tangan ingin mengambil dan menuangkan sendiri ke gelas.
Duduk
setengah melamun, mengudap nasi kucing dan menyeruput susu jahe panas, saya puaskan
menghirup aroma Jogja. Lamat-lamat terdengar alunan suara musisi jalanan,
meniru Katon Bagaskara dalam lagu Jogjakarta,
Masih seperti dulu Tiap sudut menyapaku bersahabat Penuh
selaksa makna
Terhanyut aku akan nostalgi Saat kita sering luangkan
waktu Nikmati bersama
Suasana Jogya
Menonton
gerombolan anak muda bersenda gurau di sekitar Tugu, lincah bergaya untuk
foto-foto di media sosial, membuat saya
baper, teringat masa muda kesederhanaan dan selow nya ritme kota Yogyakarta yang membuai selama saya menjalani
masa kuliah dulu. Ah, Jogja memang bikin
kangen!
Jogja itu kota ngangenin :). Aku bersyukur kampung suami di solo, jadi tiap kali mudik kesana, kami selalu nyempetin untuk nginep di Jogja bbrp hari mba
BalasHapusSelalu suka Ama suasananya, orang2nya yg ramah, tempat wisata dan kuliner pastinyaaa :D. Pokoknya tiap kali ke Jogja, pikiran langsung rileks lah.
Aku blm prnh coba burger Monalisa ini. Nanti kalo ke Jogja lagi, aku sempetin nyari deh :)
Iya jogja tuh memang asyik buat dikangenin. Kalau udah coba burger Monalisa mungkin bisa dishare mbak kesannya, sama gak sama aku hehehe. Makasih udah mampir blog aku yaa
Hapussejak pandemi belum balik lagi ke Jogya
BalasHapusaku sukaa burger, mungkin next kalau ke jogya lagi bisa aku cobain burger monalisanya, penasaran juga
Emang pandemi nih bikin maju mundur ya kalau mau pergi-pergi. Aku juga belum ke Yogya lagi. Kangen padahal. Btw, aku sering dibilang jadul karena suka burger Monalisa haha. Karena Yogya kan banyak kulineran baru.
Hapusburger monalisa itu legend banget si
BalasHapuskalau kebetulan ke prawirotaman suka mampir ke sini
kalau angkringan di Tugu aku suka banget sama tehnya
gatau tehnya enak banget apalagi pas hujan
tapi warung paling bikin kangen adalah warung Pak Ito di Blok O
asli enak banget mbak
Ohh, ok mas, noted. Warung pak Ito blok O ya. Cek ah nanti. Makasih infonya
Hapuswah burger monalisa, emang terkenal banget ya, mana zaman dulu kan masih jarang ada yang jual burger
BalasHapusIya legend , rasanya Jogja banget mbak.
HapusHwah kangen sekali dengan suasana Yogyakarta. Semenjak pandemi belum pernah lagi nih traveling yang agak jauhan. Suatu saat jika ke yogya lagi, harus kayanya nih ke burger monalisa atau ke angkringannya mas bagong
BalasHapus