Kali ini adalah cerita saat saya jalan-jalan wisata ke gedung Museum Brawijaya Malang, Jawa Timur. Di dalam bangunan milik TNI ini tersimpan salah satu peninggalan Gerbong Maut Bondowoso yang menyimpan cerita memilukan.
Jalan-jalan pergi liburan kog ke tempat wisata yang punya cerita memilukan? Iya ini kan wisata edukasi, soalnya gerbong maut ini masih terkait dengan sejarah dan kereta api. Berhubung saya suka hal-hal yang berkaitan dengan kereta api, maka museum Brawijaya ini jadi salah satu tujuan saat kami liburan ke kota Malang, Jawa Timur.
Waktu kami sampai di museum Brawijaya, hari sudah cukup sore, sekitar jam 3. Museum saat itu sangat sepi, cuma ada mobil kami yang datang. Di dalam museum lebih sepi lagi. Cuma ada satu orang yang ada di ruangan depan. Kami tak yakin apakah museum masih buka ataukah sudah tutup.
Kami ditanyai maksud kedatangan sore-sore itu. Kami bilang ingin lihat Gerbong Maut Bondowoso. Kami lalu dipersilahkan masuk, ditunjukan kalau letak gerbong itu ada di halaman tengah gedung. Langsung kami menuju ke lokasi.
Ini dia gerbong tersebut. Di tengah gedung tapi di luar ruangan, atasnya diberi atap. Awalnya kelihatan biasa saja. Sebuah gerbong kecil berwarna putih dengan sedikit aksen warna hitam. Ada bagian yang terbuka, semacam sebuah jendela atau mungkin pintu. Di salah satu bagian dinding gerbong, menempel sebuah papan hitam kecil dengan tulisan putih. Isi tulisannya sedikit bercerita mengenai Gerbong Maut Bondowoso. Cerita versi pendek saja.
Cerita versi panjangnya yang saya dapat dari sumber lain termasuk dari museum Bondowoso adalah begini;
Pada tahun 1947 Belanda melancarkan Agresi Militer Pertama terhadap Indonesia.
Pada bulan Juli di tahun tersebut militer Belanda mulai mengadakan penyisiran ke berbagai wilayah, salah satunya adalah Bondowoso, Jawa Timur.
Militer Belanda melakukan penangkapan besar-besaran terhadap para anggota Tentara Republik Indonesia dan beberapa orang yang mereka curigai. Setelah ditangkap para tawanan dibawa dan dimasukkan ke dalam penjara.
Saking banyaknya yang ditangkap, penjara Bondowoso tidak cukup untuk menampung mereka. Maka militer Belanda ingin memindahkan para tawanan politik ke penjara yang lebih besar di Surabaya.
Tadinya pemindahan akan dilakukan pada 22 November 1947, namun ditunda untuk menghindari keributan karena banyaknya keluarga para tawanan yang berkumpul di stasiun Bondowoso.
Pukul 3 dinihari 23 November 1947, 100 orang tawanan dipindahkan secara rahasia dari penjara ke stasiun Bondowoso.
Di stasiun, mereka digiring ke tiga gerbong yang sudah menanti. Seratus tawanan tersebut diangkut dengan tiga gerbong barang. Gerbong GR 10152 berisi 38 orang, GR 4416 diisi 29 orang, dan gerbong ketiga GR5769 diisi 33 orang.
Namun kereta tak langsung berangkat. Para tawanan menunggu dalam gerbong selama 4 jam. Pagi hari, barulah mereka diberangkatkan ke stasiun Wonokromo.
Proses pemindahan dengan kereta api dari Bondowoso hingga Surabaya yang berjarak sekitar 240 kilometer itu memakan waktu tempuh kurang lebih 13 jam.
Gerbong yang tanpa ventilasi itu membuat kondisi terasa pengap. Sepanjang perjalanan dari Kalisat-Jember para tawanan mulai berteriak-teriak, sebagian bahkan pingsan. Dari Jember kereta kembali berangkat pukul 10.30. Perjalanan dari Jember-pasuruan merupakan puncak penderitaan para tawanan.
Dalam gerbong penuh sesak dan sempit, sebagian tawanan sangat kehausan hingga nekat meminum air seni teman mereka sendiri. Ada yang mencoba membuat lubang angin di dinding gerbong, ada yang histeris menggaruk lantai hingga jari mereka berdarah.
Antara Pasuruan-Bangil, turun hujan deras, hingga keadaan di dalam gerbong tawanan sedikit sejuk. Namun nasib naas menimpa para tawanan di gerbong GR 10152 yang tertutup rapat tanpa keropos karena masih baru. Air hujan dan udara sejuk tak bisa masuk ke dalam gerbong. Antara Bangil-Sidoarjo, suara rintihan para tawanan sudah tak terdengar lagi.
Tak terbayangkan betapa menderitanya 100 tawanan tersebut, menempuh perjalanan selama 13 jam di dalam gerbong besi tertutup, dimana sebagian besar waktu perjalanan berada ditengah sengatan terik matahari.
Pukul 19.30 kereta yang membawa para tawanan sampai di Stasiun Wonokromo Surabaya. Saat pintu-pintu gerbong dibuka, didapati kondisi mereka sangat memprihatinkan. 90 orang tawanan dalam keadaan pingsan bahkan ada yang sudah tak bernyawa. Hanya 10 orang yang masih bergerak.
Tawanan di gerbong GR 10152 sebanyak 38 orang semua meninggal dunia. Gerbong barang yang saat itu terhitung paling baru tersebut dinding-dindingnya masih rapat sehingga hampir tak ada lubang untuk aliran udara.
Lalu di gerbong kedua GR 4416, dari 29 tawanan, delapan orang diantaranya meninggal dunia.
Sementara di gerbong yang berusia paling tua GR 5769, pada dindingnya sudah terdapat lubang-lubang akibat keropos, hingga 33 tawanan yang ada di dalamnya bisa bertahan hidup semua.
Nah yang terdapat di museum TNI Brawijaya Malang ini adalah gerbong GR 10152, yang semua tawanan di dalamnya meninggal dunia.
Ini hanya salah satu dari gerbong maut dalam cerita sejarah tersebut. Dua gerbong maut Bondowoso lainnya, keberadaannya tak jelas. Konon katanya sudah dimusnahkan.
Kalau melihat dan membaca sejarah yang seperti ini, baru sangat terasa dan teringat kembali bahwa mencapai kemerdekaan negara kita puluhan tahun lalu itu, harus melalui penderitaan luar biasa termasuk berkorban nyawa, dari para pejuang kemerdekaan kita.
Saat itu, berada ditengah museum yang sepi dan sunyi, saya mencoba membayangkan kejadian puluhan tahun lalu yang menimpa para pejuang yang jadi tawanan perang.
Mungkin seperti itulah sunyinya gerbong GR 10152 dulu saat dibuka, puluhan tahun lalu. Tak ada suara. Hanya senyap. Meski tadinya banyak suara bahkan gaduh teriakan puluhan orang di dalamnya.
Mau tak mau saya merasa sedih lihat gerbong itu. Mungkin suasananya akan berbeda kalau melihat Gerbong Maut Bondowoso itu saat museum sedang ramai pengunjung. Mungkin rasanya akan seperti biasa saja. Mungkin saya tak akan sedih. Mungkin saya akan melihat gerbong itu dengan kesan yang lain.
Konon kata orang yang sudah pernah datang ke museum TNI Brawijaya Malang, kalau kebelet sebaiknya tak ke kamar mandi sendirian. Juga konon katanya sering terlihat ada bayangan di gerbong tua ini. Ada juga yang bilang bisa terdengar suara rintihan di gerbong maut Bondowoso ini. Entah benar entah tidak. Namanya juga konon.
Saya sendiri pas disana tidak merasakan aura mistis. Cuma karena saat itu sudah sore, museum sepi, hanya ada kami bertiga yang datang ke museum tersebut, maka meski letak gerbong maut tersebut ada di luar ruangan, rasanya memang agak creepy. Agak seram karena berada ditengah gedung besar yang sepi dan sunyi.
Nah soal keaslian Gerbong Maut Bondowoso di Museum TNI Brawijaya ini, ada juga yang memperdebatkan. Karena ada satu lagi gerbong dengan jenis yang sama yang berada di Gedung Juang 45 di Surabaya. Tapi saya belum pernah pergi kesana jadi tidak saya bahas disini. Demikian ya cerita jalan-jalan dan liburan wisata edukasi saya kali ini.
Kalian adakah yang sudah pernah pergi melihat Gerbong Maut Bondowoso di Museum Brawijaya TNI Malang-Jawa Timur? Apa kesan kalian saat kesana? Barangkali kalian termasuk yang bisa melihat hal yang mistis? atau mengalami sesuatu yang seram saat pergi ke toilet? Atau seperti saya yang bisanya sedih baper dan kirim doa? Ceritakan di kolom komen yuk.
Posting Komentar
Posting Komentar